MENSOALKAN : MAKNA HAQIQI PELAYANAN PUBLIK

22 03 2008

MENSOALKAN : MAKNA HAQIQI PELAYANAN PUBLIK
Irwan Noor

Renungan Pertanyaan.
Dalam wacana kebijakan publik, telah lama didengungkan akan makna pentingnya orientasi pada pelayanan publik. Titik beratnya pun terarahkan pada kebutuhan user bukan pada producer kebijakan tersebut. Namun, makin dikaji kedalaman makna pelayanan publik, dan semakin pula ditelaah konsep tersebut dalam perwujudan relita, tampak dunia nyata semakin jauh dari haqiqi yang ingin dicapai dari pelayanan publik. Atau, secara ektreem dapatlah diajukan sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik, makin jauh dipompakan kajian-kajian kebijakan, terasa samakin jauh batasan konsep dengan realita. Ini artinya sama dengan, pemahaman akan pelayanan publik hanya tertinggal pada setumpuk konsep yang cukup dibahas dalam diskusi-diskusi ilmiah, tanpa sedikitpun menyentuh akar relita kemasyarakatan, terlebih lagi jika arahan tersebut menukik pada makna sebenarnya dari pelayanan publik tersebut.
Debat akan susul jika mengkaji pernyataan di atas. Namun, debat hanya akan membuka lebih jauh tabir kebobrokan makna sebuah keraguan dari batasan-batasan yang tak jelas. Sebuah pertanyaan renungan terlontar dari kedalaman nurani paling dalam. Begitu bayak kajian tentang kabijakan akan pelayanan publik, tetapi selalu saja permasalahan yang muncul melebihi kapasitas kebijakan. Jawab pembelaan dapat saja susul kemudian. Jika sebuah teori hanya dipandang sebatas prediksi semata. Atau sebuah teori dibangun terbatas pada ruang lingkup lokal waktu dan ruang semata. Maka semakin banyak bermunculan justifikasi asumsi, pembenaran pembelaan diri yang tertuduh tak mampu menjelaskan secara arif. Namun, makin bijak seorang ilmuwan, ia akan tunduk merenung, bahwa ketidak mampuannya menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat, karena kesombongan logika intelektualnya. Inilah yang pernah terlontarkan oleh Rizal Ramli (Menko Ekuin), yang merendah karena ketidak berdayaannya mengucap, “kita bagus dalam membuahkan sebuah kebijakan, tetapi ambruk dalam implementasinya”.
Bukankah suatu tindakan yang bijak, jika mau mengakui secara jujur, bahwa selama ini memang diri sendiri pun belum faham dan mengerti secara haqiqi makna sebuah pelayanan publik? Adalah kesombongan intelektual logika semata jika merasa mengerti hanya karena embel-embel gelar yang berkapasitas intelektual kebijakan. Bukankah pengetahuan itu semata karena olah curi rekayasa hasil perasan pandangan dan pendapat intelektual lainnya. Atau, bukankah pengetahuan tersebut sebatas banyaknya buku-buku yang banyak terbaca? Lalu tersimpulkan diri merasa telah mengantongi setumpuk pemahaman pengetahuan. Jika sekiranya renungan tersebut dibalik, sekiranya pula buku-buku tersebut ditiadakan dari memori ingatan, bukankah kekosongan faham yang bakal terjadi. Alangkahnya bijaknya, sekiranya seekor keledai yang menumpuk beban di pundaknya mau merenung sejenak. Bahwa cambukan sang kusir bukan berarti kenistaan dalam kebencian. Dari kedalaman lubuk hati sang kusir, ada kandungan harap, cepatlah sang keledai berlari. Dengan satu harap tercapailah tujuan dengan terlepasnya tumpukan kitab-kitab di pundak sang keledai. Namun, karena kedunguan keledai, cambukan sang kusir sering dianggap-sangka sebagai pelecehan nama kebesaran. Memang dasar keledai dungu, teguran sering diartikan sebagai awal permusuhan berfikir. Disinilah kepicikan intelektual logika yang terkukung dalam kerangkeng kaleng ikan sarden. Utuh tampaknya ikan sarden terpampang di kulit luar kaleng. Namun haqiqinya, di dalam kaleng ikan sarden hanyalah potongan-potongan badan yang tak berkepala. Disinilah, jika diri mampu merendah sejenak, bahwa kemampuan diri hanya sebatas apa yang telah terbaca semata. Lebih jauh lagi, beranikah memberi jawaban pasti dan tepat, akankah mampu menyelesaikan persoalan yang melanda tanah air, bangsa negara ini, khususnya menyangkut pelayanan publik, hanya mengandalakan keampuhan logika intelektual?

Andalan intelektual logika hanya akan mencibir jika diajukan pertanyaan demikian. Anggap diri akan memberi jawaban, inilah sebuah pertanyaan yang tidak ilmiah. Namun, jika sesaat saja mau menelusuri relung-relung kebersihan nurani, akan terpaku pada kebuntuan berfikir bahwa yang selama ini diandalkan sebenarnya hanya sebatas tahu saja, untuk faham terlebih mengerti secara haqiqi apa yang diajukan sebagai konsep, hanyalah hiasan-hiasan kata yang yang tak birisi, yang diri sendiri sebenarnya tidak mampu menjelaskan secara jauh dan mendalam. Artinya, akar permasalahan sebuah konsepsi sebenarnya dapat ditarik dari kemampuan di dalam memahami dan mengerti ungkapan yang akan terungkap dari fenomena konsep tersebut. Dengan bahasa lain, elaborasi secara cermat pemahaman sebuah konsep sangat dibutuhkan.
Adapun tulisan berikut ini tidak berpretensi untuk kajian ilmiah rumit yang cukup tersangsang dalam wacana debat, tanpa mampu teraplikasikan dalam dunia realita. Tetapi dimaksudkan cukup sebatas penggugah kesadaran aqal semata, yaitu untuk berfikir lewat kebersihan nurani yang paling dalam melihat gejolak fenomena kemasyarakatan, serta merendah diri dengan cara membuang jauh toga kemegahan sangkaan intelektual hasil perasan pandangan dan pendapat ilmuwan lainnya. Ia adalah sebuah tulisan yang mengajak ulang-renung, bahwa permasalahan-permasalahan kebijakan publik, yang dalam nuansa mistisnya terungkap pada koridor pelayanan publik, ternyata masih jauh dari sentuhan-sentuhan pelayanan itu sendiri. Fakta keseharian lebih banyak menggambarkan kekecewaan dan gerutuan masyarakat awam terhadap pelayanan yang mereka dapatkan. Suguhan para pelayan publik lebih dari sekedar pemenuhan tututan arah kebutuhan layanan diri sendiri. Dan lebih jauh lagi, telah menggapai sebuah kerajaan-kerajaan otoritas yang disebut “pelayanan dari publik” bagi diri sendiri.
Sentuhan kesadaran lewat tulisan ini diharap banyak membawa pada kecerahan dunia ilmu kebijakan, yang berakar pada tatanan nilai-nilai kemasyarakatan yang haqiqi serta membumi pada nilai-nilai kebangsaan yang telah lama dicampak-buangkan oleh pola-pola kebijakan ilmu yang menjauh dari akar-akar budaya bangsa. Adalah suatu kemustahilan akan munculnya intelektual kebijakan yang mengakar erat pada nilai-nilai kebangsaan ibu pertiwi, jika tidak berani membongkar-hancurkan dan membuang-lepaskan pola pembatasan-pengkotakan definisi dari sebuah disiplin ilmu. Bukankah definisi dan disiplin sebuah konsep hanya akan menciptakan gerak keilmuan yang hanya berjalan sesuai arahan kaca mata kuda, yang lurus-linear tanpa berani menyudukan kata dan pendapat ilmuwan lainnya? Sekelumit kata adalah pembuka wawasan keilmuan yang jauh menjangkau keluasan dan ke dalaman akan ilmu itu sendiri. Inilah yang dituju dari penggugah kesadaran berilmu.
Dahulukan Makna Pelayan. Tertuang tiga makna dalam kosa kata pelayanan, yaitu:
perbuatan, pemenuhan kebutuhan, dan kemudahan. Dengan demikian, pada makna pelayanan ada kandungan unsur keaktifan dari sebuah perbuatan. Yang artinya pula bukan suatu tindakan yang menunggu sebuah aktivitas. Tetapi pelayanan menunjuk suatu gerak aktivitas aktif. Ia berdiri dalam kesantunan dan kerendahan hati untuk siap-cekatan dalam gerak aba-aba yang dikehendaki stake holders. Ia berdiri pada posisi kerendahan hati dengan kesiapan membuka diri tanpa protesan dan tidak menggantung harapan untuk keuntungan diri sesaat. Keaktifan dapat saja berwujud kemampuan mencari tahu akan kebutuhan yang akan dilayani. Karena dalam konteks ini berkenaan dengan publik, maka konsepsi pelayanan publik, sebenarnya berhubungan dengan keaktifan untuk mencari tahu lebih jauh kebutuhan dan kehendak publik tersebut. Adalah suatu kenihilan jika masih terdapat pembatas antara publik servant dan user. Persoalan akan muncul kemudian, jika makna pelayanan hanya sebagai alih kosa kata dari plagiat konsepsi dunia bisnis. Kenistaan penumpukan keuntungan sesaat dengan iming-iming pelayanan prima, sebenar hanya umpan jerat terhadap stake holders. Akhirnya kosa kata pelayanan hanyalah selimut untuk memperoleh keuntungan sesaat dengan memilin ulasan senyum manis penjerat keuntungan dengan pengorbanan masyarakat awam. Lalu bermunculan pengejaran target, baik bagi kepentingan diri sendiri maupun atas nama “demi pembangunan”. Pembatas tersebut dapat berwujud kesenjangan kebutuhan antara pelayan dan yang dilayani. Akibatnya bermunculan bermacam-macam ungkapan alasan untuk mecari dan memenuhi keuntungan pribadi. Hal demikian terjadi karena pelayan publik masih mengalami kenjangan pada dirinya sendiri. Dirinya bukan memposisikan sebagai pelayan publik tetapi lebih jauh memposisikan sebagai raja publik. Artinya, bukan dirinya sebagai pelayan publik, tetapi publik-lah diposisikan sebagai pelayan kebutuhan aparatur pelayan publik. Akibatnya muncullah bermacam-macam alasan untuk membenarkan perbuatan “tercela” para pelayan publik. Akibanya, betapapun hebatnya konsep pelayanan publik, jika makna itu muncul sebagai akibat pengkotakan ilmuwan kebijakan semata, maka tetap saja tidak akan mampu menerobos makna haqiqi pelayanan publik. Makna, pengkotak-kotakan sebagai pemahaman keilmuan sebenarnya hanya menjurus pada pemenuhan kebutuhan diri semata.

Dengan demikian makna yang awal mula diperbaharui adalah konsepsi pelayan itu sendiri. Dimana wujud perbaikan terhadap pelayan publik pada akhirnya menuju perbaikan pelayanan yang diberikan. Selama ini kajian-kajian keilmuan yang melingkar pada penjurusan makna sebuah pelayanan publik, tidak mampu menerobos wujud sikap sebenarnya makna pelayan itu sendiri. Jika pelayannya rusak, bagaimana akses yang diberikan terhadap pelayanan tersebut. Artinya, man behind the gun, yang perlu direformasi terlebih dahulu. Namun, perbaikan tersebut, yang selama ini dilakukan, hanya memahami para pelayan publik sebatas pada konsepsi manusia secara material semata. Akibatnya, dijejali para pelayan publik dengan setumpuk teori-teori atau keilmuan material semata. Yang lebih ganas lagi, pengetahuan yang diberikan lebih mewujud pada kecenderungan doktrin keilmuan. Artinya, pengetahuan yang diberikan terbatas pada kotak-kotak dan kisi-kisi cerita kehebatan sebuah kerangka teoritis, yang disangka-yakini mampu merubah sikap sebagai seorang pelayan publik. Tidak disadari bahwa pendoktrian sebuah kehebatan kerangka teoritis hanya menjadikan manusia-manusia kambing, yang hanya mampu bergelut sebatas koridor kerangka teoritis. Tanpa mampu menciptakan terobosan-terobosan yang sangat dibutuhkan dalam dimensi kebijakan itu sendiri. Hal ini tidak jauh bedanya bagi seorang ilmuwan teoritis yang terkukung pada dunia literatur dan pandangan ilmuwan lainnya. Ia hanya mampu membeokan pandangan orang lain, tanpa sedikitpun mampu membunyikan apa yang terkandung dari dirinya sendiri.

Pelayan bukan Dilayani. Dalam nuansa pelayanan publik, terlebih setelah bergulirnya gaung otonomi daerah, pelayan-pelayan publik kambing ini sudah seharusnya dimuseumkan dan ditinggalkan jauh kebelakang. Pemerintah daerah tidak akan mampu bertahan hidup secara berdikari jika akses birokratnya sebatas membeokan pandangan teoritis semata. Dengan bahasa lain, ketepurukan dalam kancah utang yang melilit akan terus membelenggu pemerintah daerah jika pelayanan publik tidak terbenahi pada aktor pelayan itu sendiri. Dengan demikian banyak hal yang kini perlu direnungkan kembali. Kesatu, orientasi pelayanan publik yang meninggalkan beban masyarakat, atau dengan kata lain, mewariskan struktur ekonomi utang perlu dikaji ulang secara seksama. Kedua, demi mencapai keinginan prestise sesaat, kebijakan pemerintahan yang melahirkan birokrat-teknokratis yang “sangat ahli” dalam disiplin sektoralnya, namun yang sangat sedikit memperhatikan pandangan universal yang seharusnya justru menjadi pengarah bagi kebijakan sektoral tersebut, perlu ditanggalkan. Ketiga, sejalan dengan dengan visi sektoral yang terpecah-pecah itu, pelayanan publik yang secara mencolok melahirkan masyarakat birokrat yang makin berciri individual-materialistik, perlu di reorientasi makna pemahamannya. Jika tidak, pelayan publik tetap dimonopoli oleh segelintir elit yang nyaris “tak dapat disentuh” oleh suara nurani masyarat, karena telah dikerdilkan secara sistematis oleh jarum suntik rekayasa batasan-batasan teoritik belaka.
Oleh karenanya, makna haqiqi perubahan orientasi bukan saja menitik beratkan pada perandaian pelayanan publik, tetapi jauh menukik pada konsepsi pelayan itu sendiri. Artinya tuntutan akan konsepsi pelayanan publik hanya membuahkan kekecewaan dan tertinggal sebatas konsepsi teoritik belaka serta hanya bernuansa berdebat intelektual saja, jika tidak ada upaya merubah secara mendasar dan meluas makna pelayan publik itu sendiri. Jika tidak, meskipun sesaat tampaknya berhasil diciptakan suasana pelayanan yang prima, namun pelayanan yang dibangun dengan batasan teoritik sifatnya adalah semu, yang akhirnya akan jatuh pada titik kehancuran pemerintah daerah paling dasar. Kebutuhan masyarakat itulah yang mesti “dibaca”, dalam arti disimak-perhatikan segala peri kehidupannya untuk dipersiapkan dengan penuh kesungguhan memasuki masa mendatang. Bacalah dengan hati bebas dari takut, cemas, khawatir dan sedih apa pun hasilnya. Hanya dengan keadaan nurani yang penuh hiba-prihatin atas keselamatan mereka, akan tersambunglah getaran-getaran pemahaman-pengertian untuk menyingkap potensi kebutuhan masyarakat yang mesti diangkat ke permukaan.
Pernyataan di atas jika difahami sebatas bahasa verbal, maka akan menciptakan lingkaran melilit yang hanya berubah pola dan bentukannya saja. Untuk itu, pengembangannya harus dirubah melalui moral bangsa. Yaitu tatanan nilai yang telah berakar pada sendi-sendi kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Nilai pertama yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai spritual-intelektual. Ketepat-terpaduan kedua nilai inilah yang tercampakkan di dalam perwujudan pelayanan publik. Ada satu statment yang memiliki nuansa yang cukup jauh dan medalam, yaitu “perbaikan suatu tatanan susunan pemerintah tidak akan berhasil jika tidak dimulai dari aparaturnya”. Artinya, mulailah perbaikan dari diri aparatur pelayan publik, baru meluas pada tatanan susunan secara menyeluruh. Sedangkan perbaikan itu sendiri tidak akan dapat diwujud-nyatakan jika didasari pada konsepsi ketidak-pastian atau asumsi-asumsi yang dilandasi oleh olah fikir rekayasa keraguan atau teori-teori yang tidak dapat dipertang-gung jawabkan kepastiannya. Tetapi harus dilandasi oleh ketepat-pastian dan telah teruji keunggulan-tangguhnya dalam nuansa kebangsaan. Yaitu dilandasi terlebih dahulu oleh nilai-nilai spritual bangsa yang kemudian tertata oleh nilai intekletual.

Oleh karenanya, penataan ulang perbaikan aparatur mestinya dimulai pada nilai-nilai kesetimbangan spritual-intelektual mereka. Namun sayangnya, justifikasi logika sekuler mengejawantahkan pemahaman spritual hanya sebatas rutinitas ritual semata. Padahal makna tersembunyi dibalik dimensi spritual adalah keharmonisan unsur-unsur ketenagaan di dalam diri yang akan mampu menerobos batas-batas pelayanan, sehingga tercuat dalam wujud nyata kegiatan yang bertindak penuh belas-hiba karena kasih sayang semata. Oleh karenanya cakupan pelayanan publik semestinya meluas pada dimensi keselarasan keseimbangan antara spritual-intelektual para pelayan publik tersebut. Hal ini disebabkan, kemapanan intelektual yang tidak diimbangi oleh ketenagaan spritual menjadikan aparatur pemerintah berintelektual sekuler. Ia hanya ahli dalam logika rekayasa. Yaitu hanya pandai berteori tanpa mampu mewujudkan-nyatakan dalam perbuatan. Artinya, pelayanan yang baik dan santun hanya menggantung pada konsep-konsep pelatihan dan buku-buku literatur semata. Pertanyaan-nya, dapatkah dijawab dengan pasti, jika seseorang yang telah berselempangkan toga kebesaran akan santun sebagai pelayan publik? Demikian pula sebaliknya, kemapanan spritual tanpa didukung ketangguhan intelektual hanya akan menciptakan aparatur yang berdiri dalam patung kebodohan yang sangat mudah terombang-ambingkan oleh angin rekayasa intelektual.
Oleh karenanya, pemahaman makna pelayanan publik semestinya diawali dari kemapanan aparatur dalam bentuk keselarasan antara spritual-intelektualnya.
Dalam hal ini, kemapanan spritual lebih jauh diolah pada kemampuan bakat-potensi pada tiap-tiap individu bersangkutan. Unsur pengolahan bakat-potensi tersebut diawali dari kesetimbangan ketenagaan yang ada dalam diri manusia, yang terdiri dari lima unsur ketenagaan, yaitu: ruhaniyah, ketenagaan rasa, nurani suci, aqal, dan keinginan-keinginan. Kelima unsur ini yang terlebih dahulu dibina oleh seorang pimpinan jika menginginkan tercapainya suatu bentuk pelayanan publik yang diharapkan. Pengolahan kelima unsur tidak sama model dan perwujudannya dengan teori-teori motivasi serta pengembangan pelayanan publik yang selama ini dikembangkan dalam dunia pustaka kebijakan publik. Lima unsur tersebut ada dalam cakupan dimensi spritual, sehingga tidak dapat dikaji hanya sebatas konsepsi teori psikologis atau teori-teori material-sekuler. Karena teori-teori tersebut tidak akan pernah menyentuh domain unsur tersebut.
Seandainya kelima unsur tersebut disentuh di dalam perbaikan pelayanan publik, maka dipastikan pelayanan prima sebagaimana diangankan oleh masyarakat dapatlah tercapai. Dengan kata lain, terjadinya
ketimpangan atau kekecewaan di dalam pelayanan publik disebabkan aparatur pelaksana pelayanan publik telah rusak salah satu unsur atau bahkan keseluruhan unsur yang ada dalam dirinya. Sedangkan tertatanya unsur ketenagaan di dalam diri itulah yang akan menciptakan kinerja yang berkesinambungan dan menciptakan pelayanan yang prima. Dikatakan pelayanan prima karena hasil perbuatannya tidak merugikan fihak manapun, baik masyarakat pengguna maupun lingkungan kerjanya. Jadi konsepsi ini tidak saja sebatas “puas” menurut ukuran kasat mata, tetapi terciptanya keharmonisan-keselarasan berkelanjutan pada diri sendiri, yaitu aparatur pelayanan publik, maupun lingkungan sekitarnya, baik masyarakat pengguna maupun lingkungan kerja. Disinilah kemudian muncul konsepsi kedua, yang tak kalah pentingnya dalam konsepsi pelayanan publik, yaitu keadilan yang beradab. Artinya, pelayanan yang diberikan tidak saja sebatas pemenuhan hak-hak asasi manusia, tetapi telah mencakup hak-hak asasi lingkungan secara berkesemestaan. Konsepsi nilai kebangsaan tentang keadilan-beradab jauh melebihi nilai-nilai HAM. Keadilan tidak saja memenuhi unsur hak-hak individu, tetapi telah mencakup hak-hak kesemestaan, baik lingkungan semesta maupun di luar diri manusia itu sendiri. Aktivitas itupun masih di dalam koridor sifat dan sikap yang penuh adab.

Oleh karenanya, makna tersembunyi dengan pemantapan kelima unsur di dalam diri para aparatur pelayan publik, adalah terciptanya keadilan dalam berbuat tetapi dipagari oleh nilai-nilai adab. Nilai-nilai inilah yang terkikis habis bahkan tidak pernah muncul kepermukaan di dalam pelayanan publik selama ini. Nilai adab berhubungan erat dengan sifat dan sikap santun di dalam berhubungan dengan stake holders. Sifat ini muncul hanya jika adanya kemapanan dan pelibatan unsur perasaan pada pelayan publik. Perasaan penuh kasih sayang sebagai pelayan inilah yang perlu dimunculkan. Inipun berkaitan erat dengan tumbuh suburnya unsur nurani suci individu bersangkutan. Kedua unsur inilah yang dianggap-sangka sebagai subyektivitas pada kajian-kajian keilmuan kebijakan modern. Keterlibatan unsur rasa dan nurani suci dipandang mengurangi bobot suatu pelayanan. Akibatnya kinerja suatu organisasi berada dalam kondisi kegersangan dan kegiatan yang penuh unsur untung-rugi. Kondisi semacam ini lebih jauh akan menciptakan kondisi “pengemisan” dari aparatur pelayan publik terhadap khalayak pengguna. Hal ini terungkap dengan munculnya bermacam-macam praktek “uang pelicin” untuk memudahkan sesuatu urusan atau pelayanan. Padahal pelibatan unsur rasa akan memberikan nuansa santun bagi aparatur pelayan publik di dalam proses kerjanya, terutama di dalam memberikan pelayanan prima kepada khayalak pengguna. Perasaan “malu” untuk tidak memberikan pelayanan yang paling baik akan muncul dengan sendirinya, inipun tidak membedakan sasaran pengguna pelayanan. Dengan munculnya perasaan “malu” untuk tidak memberikan pelayanan yang lebih baik akan menciptakan kondisi keadilan bagi para pengguna pelayanan.
Mulailah dari diri sendiri. Sebuah pandangan hanya tertinggal sebagai hiasan kata yang tak bermakna, sekiranya pandangan hanya sebatas diskusi formal semata. Ia semestinya teraplikasi di dalam kerangka kerja yang sesungguhnya. Adapun pandangan di atas tidak dapat dimunculkan jika tidak dimulai dari diri aparatur itu sendiri. Konsepsi hanya akan menjadi bahan ceramah atau kajian pustaka yang tak berguna, jika tidak mensegerakan di dalam pelaksanaannya. Untuk itu, perbaikan menyeluruh pada individu itulah yang semestinya sesegera mungkin untuk dirubah-total oleh seorang pimpinan. Pemantapan spritual buka hanya sebatas mendirikan tempat-tempat ibadah semata, tetapi perbaikan dimulai dari pimpinan itu sendiri, terutama pembenahan kembali keterpurukan lima unsur di dalam diri. Baru kemudian ditata ulang ketangguhan intelektualnya. Kedua proyek inilah yang sebenarnya harus dimulai di dalam menghadapi tatanan dunia baru di pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Ia harus tumbuh bersamaan. Tidak dapat berdiri sendiri dan berjalan dalam arah yang berlainan. Memang, perlu kesungguhan dalam perbuatan perbaikan ini. Pertanyaan, maukah diri memulaianya?***


Aksi

Information

Tinggalkan komentar